Imām
al-Syāfi’i sebagai pendiri
mazhab Syafi’i nama
lengkapnya Muhammad bin Idris al-Syafi’i al-Quraisyi. Dilahirkan di desa Gazah
Palestina pada tahun 150 H / 767 M. Dan ia wafat di Mesir pada tahun 204 H /
819 M. Silsilah ia dengan Nabi Muhammad bertemu pada datuk mereka, Abdul
al-Manaf. Jelasnya adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas ibn ‘Abbas ibn
‘Usman Ibn Syāfi’i ibn al-Syu’aib ibn ‘Ubaid ibn Ali Yazid ibn Hasyim ibn
Mutalib ibn Abdul al-Manaf datuk Nabi Muhammad S.A.W.[1]
Syafi’i ibn
as-Syua’ib adalah yang
menjadi nisbat al-Syafi’i Ibnu al-Syua’ib bertemu Nabi pada masa kecilnya dan
ayahnya masuk Islam pada saat perang Badar.[2] Jadi Imam al-Syafi’i adalah keturunan
Quraisy, tetapi ibunya bukan dari keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku
‘Ad (dari Yaman), bukan keturunan ‘Alawiyyah.[3]
Sejak
dilahirkan Imām al-Syāfi’i sudah menjadi yatim, pengasuhan dan bimbingan
waktu kecil adalah di bawah sang ibu. Sejak
kecil Imam al-Syafi'i sudah menampakkan kecintaan dan kecerdasannya. Hal ini
terlihat dengan kemampuannya menghafal al-Qur’an sejak usia 7 tahun, proses
belajar pertama ia pergi ke daerah Huzail (pedalaman) yang mana merupakan
tempat orang-orang yang paling ahli dalam bahasa Arab. Imām al-Syāfi’i menimba
ilmu dengan berbagai guru, baik yang berkaitan dengan syi’ir-syi’ir, tata
bahasa maupun sastra-sastra Arab. Maka tak heran dia sangat ahli dalam
kebahasaan ‘Arab.[4]
Ketika umur
Imām al-Syāfi’i mencapai 2
tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan keqabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena
ibunya Fatimah merupakan keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal di suku
tersebut. Akan tetapi ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir
kalau nasab anaknya yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan
dihilangkannya, sehingga ibunya membawa al-Syafi’i ke Mekkah. Perpindahan ini
dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
1. Mekkah
adalah tanah kelahiran bapak dan nenek
moyang Imam al-Syafi’i. Maka ibunya ingin anaknya dibesarkan diantara
keluarga ayahnya yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat
berbagai fasilitas dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan pada
waktu itu memang menyediakan tunjangan khusus bagi segenap anggota keluarga
Quraisy dari keturunan Hasyim dan Mutalib yaitu keluarga dekat Nabi s.a.w.
2. Karena kota Mekkah
merupakan tempat ‘ulama, fuqaha’, syu’ara dan udaba’ sehingga Imām al-Syāfi’i
dapat berkembang dalam bahasa Arab yang murni dan mengambil cabang-cabang
keilmuan yang dikehendaki. Walaupun
Yaman dan Palestina itu lebih utama bagi ibunya karena daerah kaumnya yaitu
Azdiyah.[5]
Pendidikan, Pengembaraan dan Karir Imam syafi'i
Imām
al-Syāfi’i memulai kegiatannya menuntut ilmu sejak masa kecilya di Mekkah.
Walaupun ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu dalam asuhan ibunya serta hidup
dalam kekurangan dan kesempitan, akan tetapi semangat untuk menuntut ilmunya
tidak pudar. Si ibu, Fatimah, mengirimkan al-Syafi’i
untuk belajar ke Kuttab (semacam taman kanak-kanak). Dengan kemaunnya yang
keras dan dorongan dari ibunya, ia mendatangi para ulama dan menulis apa yang
bermanfaat mengenai hal-hal yang penting.[6]
Dari pengembaraan ilmiah yang telah dilakukan Imām
al-Syāfi’i dapat mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan
oleh para ‘ulama’, mulai pemikiran ‘ulama’ yang didasarkan pada hadis maupun
ra’yu, tetapi ia banyak dipengaruhi oleh corak pemikiran Irak yang dijadikan
dasar pengembangan mazhabnya pertama kali di Mekkah, yaitu dengan mengaktifkan
kembali halaqah di Masjid al-Haram.[7]
Untuk pendalaman
hadis Imām al-Syāfi’i pergi
ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Ia mampu
menyelesaikan pendidikan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan kemampuan
menghafal kitab al-Muwatta’
karya Imam Malik yang dibaca dengan di depan sang guru, hal ini membuat
kekaguman tersendiri bagi Imam Malik.[8]
Karena merasa masih harus memperdalam pengetahuannya,
Imam al-Syafi’i kemudian pergi ke Irak, untuk memperdalam lagi ilmu fiqh,
kepada para murid Imam Abu Hanifah yang masih ada, dalam perantauannya
tersebut, ia sempat mengunjungi Persia dan beberapa tempat lain.[9] Pada waktu itu ia menyusun kitab usul
fiqh yang pertama dalam Islam yaitu “al-Risalah”.
Sebagai pecinta ilmu, Imām al-Syāfi’i mempunyai banyak
guru, begitu banyaknya guru Imam Syafi’i sehingga Imam ibn Hajar
al-Asqalani menyusun satu buku khusus yang bernama Tawali al-Tasib yang di dalamnya disebut nama-nama
‘ulama’ yang pernah menjadi guru Imam Syafi’i, antara lain: Imam Muslim bin
Kholid, Imam Ibrahim in Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas,
Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail bin
Iyad.[10]
Aktivitas dibidang pendidikan dimulai dengan mengajar
di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun.
Sebagai ‘ulama’ fiqh namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari
berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama fiqh iapun dikenal sebagai
‘ulama' ahli hadis, tafsir, bahasa dan sastra Arab, ilmu falak, ilmu usul dan
ilmu tarikh.[11]
Imām al-Syāfi’i digelari Nasir al-Sunnah artinya pembela Sunnah atau Hadis.
Karena sangat menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana ia
sangat memuliakan para ahli hadis. ‘Ulama’ besar Abdul Halim al-Jundi,
menulis buku dengan judul, al-Imām
al-Syāfi’i, Nasir al-Sunnah wa wadi’ al-Usul. Di dalamnya diuraikan secara
rinci bagaimana sikap dan pembelaan Imām al-Syāfi’i terhadap Sunnah. Intinya
adalah bahwa Imām al-Syāfi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi s.a.w. dalam
melandasi pendapat-pendapat dan ijtihadnya. Karena itu ia sangat berhati-hati
dalam menggunakan qiyas.
Menurut al-Imām al-Syāfi’i, qiyas hanya dapat digunakan
dalam keadaan terpaksa yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang
tidak didapati nasnya secara pasti dan jelas di dalam al-Qur'an atau Hadis
sahih atau tidak dijumpai dalam ijma’ sahabat. Qiyas sama sekali tidak
dibenarkan dalam urusan ibadah. Dalam penggunaan qiyas, Imām al-Syāfi’i
menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang telah
ada.[12]
Imām al-Syāfi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun,
atas wewenang yang telah diberikan kepadanya oleh sang guru Muslim bin Khalid,
seorang ‘ulama’ besar yang menjadi mufti di Mekkah. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa
selama tinggal di Baghdad, pendapat-pendapat Imām al-Syāfi’i yang difatwakan tersebut dinamakan
dengan qaul qadim. Ketika
itu pengaruh mazhab Syafi’i mulai tersebar luas dikalangan masyarakat, kemudian
untuk sementara waktu dia terpaksa pergi meninggalkan Baghdad menuju Makkah
untuk memenuhi panggilan hati yang masih haus ilmu pengetahuan.[13]
Pada tahun 198 H. Imam al-Syafi`i kembali ke Baghdad untuk merawat
dan mengembangkan benih-benih mazhab yang telah ditebarkan, pada saat itulah
pengaruhnya mengalami perkembangan pesat. Hampir tidak ada lapisan masyarakat
Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikirannya, dan diantara pilar-pilar pendukung mazhab
Syafi’i yang masyhur adalah
Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali) al-Zafarani, Abu Sur, al-Karabisi, 4
orang inilah yang tercatat sebagai periwayat qaul
qadim yang tertuang dalam
kitab al-Hujjah.[14]
Kemudian Imam al-Syafi’i merasa terpanggil untuk
memperluas lagi mazhabnya,[15] dengan
berbekal semangat dan tekad dia mengembara ke negeri Mesir, disana Imām
al-Syāfi’i meneliti dan menelaah lebih dalam lagi ketetapan fatwa-fatwa ia
selama di Baghdad,
kemudian muncullah rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul jadid yang tertulis dalam kitab al-Umm, al-Imla, Mukhtasar Muzanni dan al-Buwaiti.
Diantara pendukung dan periwayat qaul
jadid yang terkenal adalah:
al-Buwaiti, al-Rabi’ al-Jaizi, al-Muradi, al-Harmalah dan ‘Abdullah bin
al-Zubair al-Makki.[16]
Guru dan Murid Imam syafi'i
Imam al-Syafi’i pada masa mudanya, waktunya dihabiskan
untuk menuntut ilmu pengetahuan di markas-markas ilmu pengetahuan, seperti di kota Mekkah,
Madinah, Kufah, Syam dan Mesir. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain
untuk mempelajari ilmu tafsir, fiqh, hadis kepada guru-guru yang banyak
tersebar di berbagai pelosok negerinya.
Guru-gurunya yang masyhur antara lain:
1. di
Mekkah
a. Muslim
bin Khalid al-Zanji
b. Ismail
bin Qastantin
c. Sufyan
bin Uyainah
d. Sa’ad
bin Abi Salim al-Qaddah
e. Dawud
bin Abd. al-Rahman al-Atur
f. Abd. al-Hamid bin abd. Aziz
2. di
Madinah
a. Imam
Malik bin Anas
b. Ibrahin
bin Sa’ad al-Ansari
c. Abd.
al-Azzi bin Muhammad al-Darudi
d. Ibrahim
bin Abi Yahya al-Aswamiy
e. Muhammad
bin Sa’id
f. Abdullah bin Nafi’
3. di
Yaman
a. Matraf
bin Mazin
b. Hisyam
bin Abu Yusuf
c. ‘Umar
bin Abi Salamah
d. Yahya
bin Hasan
4. di
Iraq
a. Waqi’
bin Jannah
b. Hamad
bin Usamah
c. Isma’il
bin Ulyah
d. Abd.
al-Wahab bin Abd. al-Majid
e. Muhammad
bin Hasan
f. Qadi bin Yusuf.[17]
Guru-guru tersebut di atas adalah dari berbagai
aliran. Misalnya Sufyan bin Uyainah di Mekkah dan Imam Malik bin Anas adalah
golongan ahli hadis, di Irak Ia berguru pada golongan dari ahli ra’yi, aliran
Imam Hanafi dan di Yaman golongan fiqh aliran mazhab al-Auza’i. Karena
bermacam-macam aliran itulah, maka Imam Syafi’i terkenal sebagai imam yang
sangat hati-hati dalam menentukan hukum serta ia terkenal sebagai ahli qiyas.
Abdul Karim Zaidan menyatakan:
Imam
al-Syafi’i melakukan kajian tentang mazhab-mazhab terkenal pada masanya dengan
kajian verifikasi, kritis dan membuat perbandingan. Ia pada masa mudanya
mengkaji fiqh ahli Mekkah dari Muslim bin Khalid dan lainnya, kemudian
mendalaminya kepada Malik bin Anas dan ahli fiqh Madinah hingga ia diperhitungkan
termasuk murid Imam Malik dan pengikut madrasah Madinah dan masyhur dengan
pensifatan ini hingga ia datang ke Bagdad pertama kali dan mengkaji fiqh Abu
Hanifah dan mazhab dari jalur Muhammad bin al-Hasan. Dan karenanya, ia
menyimpulkan fiqh Hijaz dan fiqh Irak. Maka ketika pulang ke Mekkah ia mengkaji
dengan mendalam dan merenungkannya. Dari sini kelihatan kepribadian Imam al-Syafi’i dengan fiqh yang baru yaitu sintesis
dari fiqh ahli Iraq dan
ahli Hijaz dan mulai membedah dengan mazhab khusus.[18]
Adapun murid-murid
Imam al-Syafi’i tersebar di
berbagai negeri, di Mekkah ada Abu Bakar al-Humaidi, Ibrahim bin Muhammad
al-‘Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Musa bin Abi al-Jarud, kemudian di
Bagdad, diantara muridnya adalah Hasan al-Sa’bah al-Za’farani, al-Husain bin
Ali al-Karabisiy, Abu Tur al-Kulbiy dan Ahmad bin Muhammad. Sedangkan di Mesir
di antara muridnya adalah al-Buwaiti, Ismail, Muzanni, Muhammad bin ‘Abdullah
bin Abd. al-Hakam dan al-Rabi’ bin Sulaiman.[19] Adapun ulama-ulama masyhur yang banyak
meriwayatkan hadis-hadisnya diantaranya:
1) Ahmad
bin Khalid al-Khallal yaitu Abu Bakar Ja’far al-Bagdadiy. Hadis-hadisnya banyak
meriwayatkan al-Nasa’i dan al-Turmuzi.
2) Ahmad
bin Sinan bin As’ad bin Hibban al-Qatatan, hadisnya banyak diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.
3) Ahmad
bin Salih al-Misri, laqabnya Abu Ja’far al–Tabari, al-Hafiz, hadis-hadisnya
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Daud.
4) Ahmad
bin Hambal, penyusun kitab Musnad Ahmad bin Hambal dan pendiri mazhab Hambali.
5) Ibrahim
bin Khalid bin al-Yaman abu Sur al-Kalbiy al-Bagdadiy. Hadisnya banyak
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Qasim al-Bagawiy.
6) Isma’il
bin Yahya bin Isma’il dengan laqab al-A’immah al-Jalil Abu Ibrahim al-Muzanniy,
‘ulama’ besar yang banyak menyusun naskah dan fatwa Imām al-Syāfi’i dan juga
mneyusun hadis beserta sanadnya.
7) Bahr
bin Nasr ibnu Sabiq al-Khuzaimiy yang memperdalam masalah ikhtilaf hadis dari
Imām al-Syāfi’i.
8) Al-Rabi’
bin Sulaiman al-Muradiy. Ia adalah murid utama Imām al-Syāfi’i di Mesir
yang meriwayatkan kitab-kitabnya termasuk menyusun musnad al-Syafi’i, hadisnya
banyak diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasa’iy, Ibnu Majah, dan Abu Zur’ah.
9) Harmalah
bin Yahya bin ‘Abdullah, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan
Ibnu Majah.[20]
Karya Ilmiah Imam syafi'i
Sebagai seorang ilmuwan yang multi disipliner, Imam
al-Syafi’i memiliki karya ilmiah yang sangat banyak. Menurut riwayat Imam Abu
Muhammad al-Hasan bin Muhammad al-Marwaziy – seperti yang dikutip al-Nawawi –
bahwa karya ilmiah Imam al-Syafi’i mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqh,
kesusastraan ‘arab dan lainnya.[21] Metode
Imam al-Syafi’i dalam mengarang buku itu ada yang langsung ditulis oleh ia
sendiri ataupun dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya.
Para ahli sejarah berbeda
pendapat tentang kapan Imam al-Syafi’i mulai menulis pendapat-pendapat dan
pemikiran-pemikirannya. Apakah ketika ia berada di Mekkah atau ketika berada di Bagdad.
Menurut riwayat yang masyhur ia mulai menulis karyanya ketika di Mekkah sebelum
datang ke Iraq untuk
yang kedua kalinya. Karya-karyanya terkenal dengan materi yang luas dan analisa
yang dalam khususnya al-Risalah dan al-Umm. Kitab-kitab karya itu antara lain:
1. Kitab al-Risalah
Al-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fiqh dan merupakan buku
pertama yang ditulis ‘ulama’ dalam bidang usul fiqh. Kitab ini disusun dua
kali, Pertama ketika Imam al-Syafi’i ada di Baghdad yang kemudian
dikenal dengan al-Risalah
al-Qodimah, yang kedua ketika ia berada di Mesir dikenal dengan al-Risalah al-Jadidah. Namun
yang sampai kepada kita sekarang adalah risalah yang kedua.[22]
Imām al-Syāfi’i tidak memberikan nama kitab tersebut
dengan al-Risalah., ia
hanya menyebutnya dengan al-Kitab (kitab ini), kitabiy (kitabku) dan kitabuna (kitab kami). Kitab ini dinamai al-Risalah karena kitab ini dikirimkan
oleh Imām al-Syāfi’i dari Baghdad kepada Abd.
al-Rahman bin Mahdi yang berada di Mekkah.[23]
Kitab al-Risalah
al-Qadimah ditulis oleh Imām
al-Syāfi’i di Mekkah dan baru disempurnakan ketika di Baghdad kemudian
dikirimkan oleh Ibnu al-Mahdi.[24] Dan
ketika ia berada di
Mesir, ia menyusun lagi
kitab al-Risalah ini dengan hafalan atas dasar al-Risalah al-Qodimah yang merupakan al-Risalah yang ada
sampai sekarang. Oleh karenanya disebut al-Risalah
al-Jadidah (kitab risalah
yang baru).[25]
2. Kitab al-Hujjah
Kitab al-Hujjah termasuk dalam qoul qodim dalam bidang fiqh dan furu’, karena disusun
oleh Imām al-Syāfi’i ketika di Bagdad.
Isi kitab ini secara umum ditujukan untuk menanggapi pendapat yang dikemukakan
oleh ulama Iraq khususnya
pendapat Muhammad bin al-Hasan.[26]
Dalam kitab kasyf
al-Zunun dikatakan bahwa al-Hujjah karya Imam al-Syafi’i merupakan kitab yang besar disusun
ketika ia berada di Iraq.
Jika dikatakan pendapat yang lama dari mazhabnya maka maksudnya adalah karya
ini.
3. Kitab al-Mabsut
Al-Mabsut adalah kitab fiqh karya Imām al-Syāfi’i yang
diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman dan al-Za`faraniy.[27] Namun, Para ‘ulama’ berbeda pendapat
tentang apakah al-Mabsut ini merupakan kitab al-Hujjah yang diriwayatkan oleh al-Za`faraniy
dari Imam al-Syafi`i di Baghdad ataukah merupakan kitab al-Umm yang diriwayatkan al-Rabi’ dari Imam
al-Syafi`i di Mesir atau merupakan kitab lain yang berbeda dari keduanya.
Menurut pendapat Imam al-Sayid bin Muhammad bin al-Sayid Ja’far al-Kattaniy
bahwa kitab al-Mabsuth bukan kitab al-Hujjah ataupun al-Umm akan tetapi kitab tersendiri dari
Imām al-Syāfi’i.[28]
4. Kitab al-Musnad
Kitab musnad al-Syafi`i merupakan kitab yang berisi
riwayat hadis-hadis al-Syafi`i, sistem penyusunan dan pembahasan kitab ini
adalah menurut sistematika kitab-kitab fiqh yakni secara berurutan, diawali
dengan masalah ‘ibadah, kemudian munakahah, kemudian masalah jihad, kemudian
masalah qada’ dan jinayah. Di sana terdapat
beberapa hadis yang diselipkan di antara masalah tersebut. Terdiri dari 66 bab
dengan istilah “kitab”. Kitab ini jika dibandingkan dengan musnad Ahmad bin
Hambal, jumlah hadisnya lebih sedikit, tetapi jika dibandingkan dengan musnad
al-Hanafi maka hadisnya lebih banyak. Kitab ini termasuk kitab yang
diperhatikan ‘ulama’ hadis pada abad kedua Hijriah dan merupakan kitab hadis
pertama yang sampai kepada kita yang menggunakan “mi’yar” ilmu hadis.[29]
5. Kitab al-Umm
Kitab al-Umm merupakan kitab yang berisi
masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imām
al-Syāfi’i yang terdapat dalam kitab al-Risalah.
Kitab al-Umm ini diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin
Sulaiman al-Muradiy. Kitab ini terdiri dari 7 jilid dan telah dimasukkan di
dalamnya beberapa karangan Imam Syafi’i yang lain yaitu:
a. Kitab Jami’ al-‘Ilm berisi pembelaan Imām al-Syāfi’i
terhadap sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Dan kitab Ibhal al-Istihsan berisi bantahan ia terhadap penggunaan
istihsan sebagai dasar hujjah.
b. Kitab al-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan,
yang berisi bantahan ia terhadap pendapat Muhammad bin Hasan tentang pendapat
‘ulama’ Madinah sebagai dasar hukum.
c. Kitab Siyar al-Auza’i, yang berisi
pembelaan ia terhadap pembahasan Imam Auza’i.[30]
Referensi tulisan Biografi Imam Syafi'i :
[1] Abd.
al-Rahim al-Asnawi Ijmal al-Din, Tabaqat
al-Syafi’iyyah, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), hlm. 18.
[2] M.
Abu Zahrah, al-Syafi'i
Hayatuhu wa Asruhu Ara’uhu wa Fiqhuh, cet. ke-2 (Beirut: Dar al-Fikr,
1948), hlm. 16-17.
[3] Ibid.,
hlm. 17. akan tetapi Munawwar Cholil cenderung pada riwayat yang mengatakan
bahwa ibunya berasal dari keturunan ‘Alawiyyah. Lihat Munawwar Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam
Mazhab, cet. ke-9, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), hlm. 200.
[4] Wahbah
al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa
Adillatuh, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), I : 35.
[5] A.
Nahrawi A.S. al-Imām
al-Syāfi’i fi Mazahibihi al-Qadim wa al-Jadid, diterbitkan oleh
pengarangnya untuk kalangan terbatas, 1994, hlm. 29. Dan Ali Yafie. Menggagas Fiqih Sosial,
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 40.
[6] Abd.
al-Ganiy al-Daqir, al-Imām
al-Syāfi’i Faqih al-Sunnah al-Akbar, (Dimsyik: Dar al-Qalam, 1990), hlm. 54.
[7] M.
Abu Zahrah, al-Syafi’i…,
hlm. 28.
[8] Khudari
Beik, Tarikh al-Tasyri
al-Islamiy, (Indonesia: Dar Ihya wa al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1981), hlm.
251.
[9] Muhammad
Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima
Mazhab, cet. ke-2 (Jakarta:
PT. Lentera Basritama, 2001), hlm. xxix.
[10] Tim
Penyusun, Ensiklopedi Islam, cet ke-3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru,
Van Hoeve, 1994), IV: 328.
[11] Ibid.,
hlm.328. Lihat pula M. Abu Zahrah, Tarikh
al-Mazahib, hlm. 449, dan Khudari Beik¸ Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, hlm. 253.
[12] Tim
Penyusun, Ensiklopedi…, IV: 329.
[13] Ibid. , hlm. 328. Lihat pula
Khudari Beik, Tarikh at-Tasyri
al-Islamiy, hlm. 253-254.
[14] Tim
Penyusun, Mengenal Istilah dan
Rumus Fuqaha, (Kediri: MHM, 1997), hlm. 112-113.
[15] Sebenarnya
kepergian Imām al-Syāfi’i ke Mesir atas permintaan wali negeri
Mesir, ‘Abbas bin Musa untuk memberikan pengajaran di Masjid ‘Amr bin As. Hal
ini buat al-Syafi’i dirasa cukup berat, karena harus meninggalkan banyak murid
di Baghdad.
Dan pengajaran di Mesir dilakukan siang hari di Masjid dan malam hari
dilakukan di rumahnya. Lihat Ensiklopedi Islam, Tim Penyusun, cet. ke-3
(Jakarta: PT. Ichtiar baru, Van Houve, 1994), IV: 328.
[16] Tim
Penyusun, Mengenal Istilah dan
Rumus Fuqoha, hlm. 113.
[17] Siradjuddin
Abbas, Sejarah dan
Keagungan Mazhab Syafi’i (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1994), hlm. 18.
[18] Abd.
al-sKarim Zaidan, al-Madkhal
li Dirasah al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah Risalah, 1989),
hlm. 140-141.
[19] A.
Al-Syurbasi, al-Aimmah
al-Arba`ah, alih bahasa Jalil Huda dan A. Ahmadi, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 1993), hlm.151-152.
[20] Taj al-Din al-Subkiy, Thabaqoh al-Syafi’iyyah al-Kurba, (Mesir: al-Hasyimiyyah, t.t.),
hlm. 186-276.
[21] Abi
Zakariya Muhyidin al-Nawawi, Tahzib
al-Asma’ wa al-Lugat, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 53.
[22] A.
Nahrawi A. S. Al-Imām
al-Syāfi’i fi Mazahibih al-Qadim wa al-Jadid, diterbitkan oleh pengarangnya
untuk kalangan terbatas, 1994, hlm. 716.
[23] Al-Syafi`i, al-Risalah, ditahqiq
oleh A. M. Syakir, (Mesir: Mustafa Babiy al-Halabiy, 1940), hlm.12.
[24] Abu
Zahrah, al-Imām
al-Syāfi’i Hayatuhu wa Asruhu Ara’uhu wa fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr
al-‘Arabiyy, t.t. ), hlm. 27.
[25] Al-Syafi`i, al-Risalah, hlm.11.
[26] A.
Nahrawi A. S., al-Imam…,
hlm. 712.
[27] Ibid., hlm. 713.
[28] Ibid.,
hlm. 714.
[29] A.
Nahrawi A. S., Al-Imam…,
hlm. 210.
[30] Muslim
Ibrahim dan Zufran Sabrie, Pengantar fiqh Muqaran, (ttp.: Erlangga,
1989), hlm. 99. Biografi Imam
Syafi'i
No comments:
Post a Comment